Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bondan menyindir konsistensi Yasonna dalam upaya revisi tersebut. Tahun 2016 lalu, politikus PDI Perjuangan ini pernah menyatakan akan melakukan perbaikan dengan alasan untuk menguatkan aturan tersebut.
"Sekarang kita dengar untuk koruptor sebentar lagi dilepas cuma terhalang PP 99. Dulu dalam kondisi normal dia ingin mengubah juga. Sekarang kondisi tidak normal dia ingin ubah lagi. Artinya dia konsisten, memang pengen ubah," ujar Gandjar pada detikcom.
Gandjar mengaku heran pada perhatian khusus yang diberikan Yasonna pada terpidana-terpidana kasus korupsi. "Mengapa koruptor terus yang diomongin. Mengapa bukan pada terpidana narkotika yang lebih banyak dan mayoritas pengguna. Ada apa ya?," kata Gandjar.
Sementara pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya Iqbal Felisiano mengatakan tujuan melepaskan para narapidana untuk mencegah penularan penyakit COVID-19. Kebijakan ini masuk akal jika para narapidana berada dalam lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas.
Namun kenyataannya, menurut Iqbal para pelaku korupsi tersebut tidak berada dalam penjara yang sama dengan kebanyakan narapidana. Satu kamar ditempati satu narapidana, seperti yang ada di LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
"Para narapidana tindak pidana korupsi ini tidak bercampur dengan napi lainnya. contohnya Setya Novanto punya sel sendiri-sendiri. Lantas apa bedanya dengan mereka di dalam dan di luar. Sama saja dengan self quarantine," ujar lulusan University of Washington, Amerika Serikat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian Sekretaris Jenderal Center for Anti-Corruption and Criminal Policy, Universitas Airlangga itu mengingatkan para narapidana kasus korupsi juga punya hak terutama bagi kelompok yang rentan terjangkit virus Corona. "Mereka harus dapat fasilitas kesehatan memadai," katanya.
(pal/rdp)